EGO
Malam ini terasa kalut, emosi dan pikiran-pikiran yang sedang berisiknya bersahut-sahutan sering sekali melemparku pada jurang kenestapaan. Menamparku seakan berkata “Berpijaklah cepat! Sebelum semua hangus sebab tingkah polahmu sendiri!”. Membisu, memikirkan ribuan kunang-kunang yang terlanjur manja memeluk pikiranku sendiri.
Malam terus melarut, jam dinding pun tak lelah 24 jam
mengingatkanku pada waktu-waktu yang sering kulepas tanpa makna, sering
kubiarkan tanpa ada gejolak perubahan ataupun mengaungkan hasil di
kesunyian-kesunyian bersama dingin yang menusuk ke tulang-tulang. Aku terduduk
kembali, meratapi sepi di depan meja kamar berwarna hijau yang dulu sengaja
dibelikan kedua malaikat tanpa sayap kepadaku. Helaan napas lolos tanpa
kuminta, melepaskan beban yang tak bisa untukku taksir berapa jumlahnya.
Kepalaku minta direbahkan katanya, tiba-tiba kedua tanganku rela menjadi alas
penopang kepala yang isinya amburadul dan
sampah-sampah lama yang belum sempat dibuang pada tempatnya.
“Crowded! Croewded!
Crowded! Why i can to be like this? Are you seriously, it’s not me! It’s not
who i’m! comeback, c’mon!
Ego telah banyak memberi jarak. Ia berefleksi pada
sikap-sikap yang tak kuhendaki mampir dalam diriku, pada solah laku yang tetiba
tak terkendali dalam diriku sendiri, pada pikiran-pikiran yang membuatku
semakin jahat tanpa kusadari. Pada kesalahan-kesalahn langkah yang sering
kuputuskan ataupun ketergesa-gesaan akan ribuan hal. Apakah ini konsep semesta?
Yang selalu senang mengajariku secara terbuka, tanpa tading aling-aling.
Ego sangat lihai menghasut diriku berubah menjadi jahat
kepada semua orang. Menjarah hati dan pikiranku untuk terus menganggap segala
hal yang berasal dalam diriku adalah benar, semua yang keluar dari ku adalah
bijak, semua yang terlontar dalam diriku adalah jawaban yang tepat, dan semua
dalam diriku adalah baik. Betapa egois dan sombong sekali jiwa ini, dengan
mudahnya membuat klaim hal-hal seperti itu.
Sepiku kini semakin ramai. Menjelang tengah malam malah
menjadi-jadi, semua berebut mengeluarkan pendapat. Mata, telinga, hidung,
mulut, kaki, hati, dan otakku menumpahkan kesal, ribut membuat daftar-daftar
kesalahan yang berderet menjadi barisan tak terhingga. Menyeleksi setiap lakon
yang pernah kubuat, mulai dari mata mendikte ku, bahwa tidak semua yang kamu
amati benar. Telinga, bahwa tidak semua yang kamu dengar adalah kejujuran.
Hidung, bahwa tidak semua yang kamu bau adalah absah. Kaki, bahwa tidak semua
yang kamu langkahkan adalah tepat. Mulut, bahwa tidak semua yang kamu ucap
adalah baik. Hati, bahwa tidak semua yang bisa kamu rasakan tentang orang lain
itu sebuah kebenaran. Otak, bahwa tidak semua yang ada dalam pikiranmu adalah
hebat. Kecuali tangan, sebab ia masih rela mendampingiku sebagai penopang
kepala, kadang ia juga mengelus-elus puncak kepala penuh kelembutan agar tak
terlalu keras kepalaku ini berdenyut akibat ulah pikiranku sendiri.
Aku terkantuk-kantuk di meja kamarku, mataku jadi sering
membuka-menutup bahkan sudah agak buram untuk melihat pukul berapa saat ini.
Entahlah, saat ini yang ku inginkan adalah
berubah. Memperbaiki sikap, pikiran, dan hatiku yang mulai tak terarah.
Baiklah sudah, aku ingin tidur nyenyak untuk kembali mendamaikan seluruh
anggota tubuhku yang sudah meronta lelah. “Aku mau berubah”.
Angrahita
Komentar
Posting Komentar